Kris and His Burden [Super Short Fiction]

by - September 15, 2013


~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Dedicated to my friend who is KRIS biased :)

Aku berkali-kali memandangi layar handphoneku, berharap ada sebuah pesan dari Kris. Mungkin ini sudah yang ke sembilan belas kalinya aku mengecek, tapi benda persegi itu tak juga menampilkan satu pesan pun. Selalu seperti ini. Entah seberapa berat beban yang ada di bahunya, yang aku tahu ia akan selalu menghilang ketika beban itu mulai membuat bahunya lelah.

Jemariku tak tahan ingin menghubunginya, meneleponnya untuk mendengar suaranya demi memastikan ia baik-baik saja. Aku menghela nafas panjang sambil menggerutu sendiri, “Kris ge, dimana kau?“. Tentu saja pertanyaanku itu tak beroleh jawaban. Aku hanya berharap ia segera pulang.

Di sofa apartemenku yang berwarna toska, aku merebahkan diriku sambil mencoba mengusir rasa khawatirku. Jam bundar berbingkai biru di dinding seberangku menunjukkan pukul 00:30, dan lelaki bertubuh sangat tinggi itu tak juga menunjukkan tanda kehadirannya. Aku mulai menguap. Satu kali. Dua kali. Lima menit berikutnya, aku sudah menguap sebanyak tujuh kali.

Suara ketukan di pintu apartemenku membuatku terlonjak dari sofa. Orang macam apa yang mengetuk pintu dengan nada yang terburu-buru seperti itu di pagi sebuta ini?? Aku mengernyitkan mataku dan mencoba melihat ke arah jam dinding. Kedua jarumnya berimpitan di angka dua. Ketukan itu terdengar semakin cepat. Aku segera beranjak dan mengurungkan niatku untuk memaki orang yang berada di balik pintu itu ketika aku teringat akan Kris.

Benar saja, orang di balik pintu itu adalah Kris yang tangan kirinya hampir mengenai kepalaku ketika akan mengetuk pintuku lagi saat aku membukanya. Wajahnya tampak sangat lesu dan pucat. Tanpa sepatah katapun ia menerjang masuk dan berdiri mematung di depan perapian.

“Gege? Kau darimana saja? Kenapa Kau tidak memberi kabar? Kau tidak apa-apa?“

“Aku baik-baik saja,“ bahkan berada dekat dengan perapian tak lantas mengubah perangainya yang dingin.

“Benarkah? Apa kau tidak lelah berbohong padaku dan dirimu sendiri?“

“Untuk apa aku berbohong?“

Well, kita sudah setahun bersama tapi aku tidak pernah tahu apa yang menjadi masalahmu. Kau selalu memendam semuanya. Tiap kali masalah itu muncul, tiba-tiba saja kau pergi. Kau pikir aku tidak khawatir? Sampai kapan kau akan terus bersikap seakan kau bisa menanggung semuanya sendirian? Bahumu itu. Pasti terlalu lelah, kan? Kau bisa meminjam bahuku. Kau bisa membagi bebanmu bersamaku.“

Dari punggungnya aku melihat Kris mendongakkan kepala, seperti berusaha menahan sesuatu. Kemudian ia membalikkan badannya, dan untuk pertama kalinya aku melihat mata indahnya berkaca-kaca. Dengan air di ujung matanya, lelaki dingin dan angkuh itu kini terlihat begitu rapuh. Aku segera menghampirinya. Aku ingin memeluknya, tapi –meskipun sudah lama bersamanya- aku terlalu takut dengan sikapnya yang tak terduga.

Sedetik berikutnya, aku sudah tenggelam di dadanya yang lapang. Tubuhnya berguncang sambil memelukku erat tanpa suara. Aku pun tak bisa berkata-kata dalam keterkejutanku.

“Kau benar, Hana. Kau benar tentang semuanya“

“G-g-ge?“

Aku berusaha melepaskan diriku dari pelukannya, karena aku ingin menghapus air mata dari wajah tampannya yang nyaris sempurna, tapi ia menghalangiku. Kris memelukku semakin erat.

“Tolong, biarkan aku memelukku seperti ini. Kau bilang mau meminjamkan bajumu, kan, Chagi?“

Baru kali ini aku seperti merasakan beban yang selama ini ada di bahunya. Aku tidak pernah tahu apa beban itu, karena Kris juga tidak akan pernah memberitahukannya padaku. Setidaknya ia berusaha membagi kesedihannya denganku. Aku pun heran ketika tiba-tiba aku ikut menangis bersamanya, seakan aku tahu betapa pedih hatinya.

Setelah lama terisak, Kris melepaskan pelukannya. Kulihat matanya kini berubah merah dan benar-benar basah. Kedua tanganku memegang wajahnya yang nampak kacau. Jemariku menelusuri garis rahangnya yang tegas. Sambil berjinjit di ujung kakiku, aku mengecup kelopak matanya yang membengkak.

Kris memejamkan matanya selama beberapa detik kemudian menatapku lekat-lekat dengan tatapan tajamnya yang aku suka.

“Jeongmal mianhae, Chagiya. Gege-mu ini hanya bisa membuatmu khawatir. Hari ini adalah titik terberat dimana bahuku sudah tak sanggup lagi menahan semuanya. Aku tahu kau pasti sangat penasaran dengan apa masalahku, tapi kuharap kau mengerti, Hana. Aku tak bisa menceritakannya padamu. Cukup kau pinjamkan bahumu saja, dan tetaplah bersamaku. Itu sudah mampu mengurangi bebanku.“

“Ge. . .“

“Aku tahu Hana, selama setahun ini aku belum bisa jadi pacar yang baik untukmu. Aku hanya bisa menyusahkanmu, membuatmu menangis. .“

“Ge. . .“

“. .aku hanya tidak bisa mengungkapkan rasa sayangku dengan tepat. Dan aku malu jika aku terlihat lemah di depanmu. Itu sebabnya aku selalu menyimpan semuanya rapat-rapat. .“

“Kris ge. . .“

“. .supaya kau tidak perlu melihat sisi lainku. Tapi aku sadar kalau ternyata hal itu malah membuatmu terluka, membuatmu. .“

Kukecup bibir Kris untuk membuatnya diam. Kris membelalakkan matanya, sedikit terkejut saat bibir kami bersentuhan.

“Cukup, Ge. Aku tahu. Kau tidak perlu merasa bersalah. Kau bisa meminjam bahuku kapan saja, dan aku juga tidak akan pernah meninggalkanmu, apapun keadaanmu dan seberat apapun masalahmu.“

“Chagiya. .“

“Sudahlah. .jangan diteruskan lagi. Ini sudah hampir pagi, dan kau pasti sangat lelah. Beristirahatlah.“

Kris mengangguk dan berjalan menuju sofa, membawaku bersamanya. Ia berbaring miring di sana sambil membuka tangannya, mengisyaratkan padaku agar aku bergelung di pelukannya. Setelah berusaha berbagi celah di sofa toskaku, kami memejamkan mata dengan tenang. Hembusan nafas Kris menjadi pengiring tidurku di pagi buta ini. Jika esok kami terbangun, kuharap beban di bahunya akan semakin ringan. Jika tidak, aku masih mau ikut membantunya berbagi beban.


--END--

You May Also Like

2 comments

  1. hosh... hosh...
    speechless dan cuma bisa ketawa sambil nyubit si Irna. emang bener adegannya cetar. dan aku kau buat iri dengan Hana.
    heh, aku penasaran sama konflik hana-kris disini. sebenernya Kris ngapain sih kok sampe buat Hana sekhawatir itu? kalo kamu jelasin pake description dikit aja ke pembaca, pasti tulisanmu ini jadi panjang & gak bikin pembaca bertanya2 tanpa ada jawaban (kecuali kalo ini dibuat serial loh, tun.)

    overall, i like it cara kamu ngegiring perasaan pembaca buat ikut khawatir sama Kris. yah meskipun kita gak tau kenapa kita khwatir sih.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ehehe, sebenernya khawatirnya ya karena si Kris suka ngilang gitu Lii. Kalo ngilang dia bakal bener-bener gak mau dihubungi, jadi makanya si Hana khawatir >.<
      Apalagi sikapnya Kris kan dari luar angkuh, dingin, dan bahkan Hana sebagai pacarnya sendiri sebenernya gak bisa menduga sikapnya dia :')

      Gomawoo >.< Akan kuperbaiki lagi cara menulisku Lii ~

      Delete