Segara Anakan, Surga yang Terhilang

by - July 12, 2013

Bosan. Rasa itu sudah seperti teman dekat yang tiap hari rajin bertandang pada kebanyakan mahasiswa semester akhir sepertiku. Bagaimana tidak, tiap hari aku harus bergelut dengan rasa malas dalam mengerjakan skripsi, namun di sisi lain aku juga dikejar deadline yang ternyata punya kemampuan berlari lebih cepat dariku. Aku ingin bersantai, pikirku. Entah sekedar bermain pasir di tepian pantai, naik ke gunung, atau kemanapun, ajaklah aku, asal aku bisa melupakan sejenak tumpukan kertas dan kata-kata yang begitu akademis itu dari benakku.

Seketika itu juga aku teringat akan ajakan seorang teman untuk pergi ke Pulau Sempu, pulau yang terkenal akan keindahannya itu. Sudah sejak lama aku ingin pergi ke sana, apalagi ketika banyak orang bercerita tentang bagaimana menakjubkan pemandangan alamnya. Tentu saja aku kemudian segera mengiyakan ajakan temanku itu. Kurasa aku tak perlu berpikir untuk yang kedua kalinya. Semua jadwal sudah kukosongkan dan tak akan ada seorang pun yang mampu mencegahku pergi.

Saat itu 4 April ketika aku dan ketigabelas temanku berkumpul di rumah Taufik, salah satu dari kami, lengkap dengan tas-tas kami yang cukup besar dan penuh muatan mulai dari air minum, baju ganti, serta barang-barang lainnya. Sekitar pukul delapan pagi kami berangkat menggunakan motor kami, masing-masing motor untuk dua orang. Jalanan kota Malang sudah mulai ramai dengan orang-orang yang hendak berangkat bekerja. Beruntung hari ini matahari tidak begitu terik melainkan tertutup awan sehingga aku yang sangat memperhatikan penampilan ini tak perlu khawatir teriknya akan membakar kulitku dan membuatnya menghitam.

Sepanjang perjalanan tak hentinya aku menerka-nerka seperti apakah rupa Pulau Sempu. Rasa penasaran yang besar membuatku tak bisa bersabar. Perjalanan ini terasa sangat lama, apalagi ketika beberapa kali kami harus berhenti hanya sekedar untuk mengisi bahan bakar, pergi ke toilet, atau menunggu teman yang tertinggal jauh di belakang. Aku semakin khawatir karena langit mendung menyapa kami ketika kami memasuki daerah kabupaten. Aku berharap mendung itu tidak akan beranjak dan mengikuti kami.

Setelah dua setengah jam perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya kami tiba di pantai Sendangbiru, awal dari perjalanan kami yang sesungguhnya, pada pukul setengah sebelas. Kesan pertama yang diberikan Sendangbiru padaku sangat buruk. Selama ini kupikir Sendangbiru adalah pantai yang indah. Namun yang ada di hadapanku sekarang hanyalah puluhan kapal yang ditambatkan di bibir pantai, lengkap dengan beberapa nelayan juga nahkoda berkulit gelap yang terlihat lelah. Pasir pantainya berwarna coklat muda, bercampur dengan sampah dimana-mana. Astaga. Aku tiba-tiba takut nantinya Laguna Segara Anakan yang ada di Pulau Sempu itu juga akan mengecewakanku. Tapi aku buru-buru menepis pikiran itu, karena aku tidak ingin merusak suasana liburanku kali ini. Apalagi tujuan utamaku pergi adalah untuk menyingkirkan penat. Aku tidak mau ketakutanku justru akan membuatku semakin penat. 

Seorang laki-laki paruh baya yang mengenakan kaos polo biru dan topi softball mendekati kami ketika kami beristirahat sejenak setelah memarkirkan motor kami.

“Mau ke Sempu, ya?” tanyanya.

“Iya, ke Segara Anakan, Pak,” salah satu dari kami menjawab.

“Sudah pernah ke sini? Kalau nggak pernah, pakai pemandu saja. Cuma 150 ribu saja. Kalau kapalnya 100 ribu,“ nadanya lebih terdengar seperti seorang sales di telingaku.

Kami saling pandang, tanpa perlu berbicara kami tahu maksud hati kami masing-masing: bahwa kami mungkin tidak perlu seorang pemandu.

“Sudah pernah, Pak. Kita mau nyewa perahunya saja,“ Mahesa sengaja berbohong, karena kami merasa mampu tanpa pemandu. 

“Ya sudah, nanti sampeyan ke sana dulu,“ Bapak itu menunjuk sebuah bangunan di belakangnya, “yang ada benderanya itu. Itu kantornya.“ Ternyata bangunan tersebut merupakan kantor dinas perhubungan setempat. Setiap pengunjung harus melapor sebelum memasuki Pulau Sempu.

Kebanyakan dari kami berangkat dengan perut yang kosong. Maka dari itu kami memutuskan untuk membeli sarapan terlebih dahulu sembari kembali mendiskuksikan apakah kami benar-benar membutuhkan pemandu atau tidak. Di sepanjang jalan dekat pantai terdapat banyak warung serta toko cemilan. Setelah melihat-lihat, kami memutuskan untuk memasuki salah satu warung di sebelah kiri jalan. Entah apa nama warungnya, yang kuingat hanya mejanya yang sedikit berdebu, bangku-bangku kayunya yang sempit, bunyi kokok ayam dari halaman belakang warung, serta cucu-cucu pemilik warung yang gaduh ketika berebut remote televisi.

Beberapa teman memesan soto, nasi campur, dan yang lain hanya memesan segelas kopi hitam atau teh. Aku sendiri hanya memesan es teh, karena aku tak pernah melewatkan sarapanku. Selain itu aku sudah membawa makanan ringan semacam keripik yang kemudian kubagikan pada teman-teman yang lain. Biasanya, harga makanan dan minuman yang dijual di dekat objek wisata cenderung lebih mahal, dan aku tahu itu. Namun tidak bagi beberapa temanku. Mereka sedikit terkejut ketika ibu pemilik warung yang tambun itu memberi tahu berapa yang harus mereka bayar.

Sebelum kembali menemui Bapak berkaos biru tadi, kami sempat membeli segalon kecil air mineral, sebagai bekal kami di Segara Anakan. Kami berubah pikiran. Sepertinya pengunjung memang harus didampingi seorang pemandu karena Mahesa bilang, perjalanan kami akan cukup panjang. Panjang? Aku kira kita hanya perlu naik perahu dan ‘tadaa‘, kita sudah sampai. Maka masing-masing dari kami mengumpulkan uang dua puluh ribuan untuk menyewa pemandu beserta perahunya. Bapak berkaos biru tadilah yang ternyata menjadi pemandu kami. Ia memanggil salah seorang pemilik perahu dan menyuruhnya menepi. Perahu itu bergoyang tiap kali kami mencoba masuk melewati papan kayu yang disandarkan di tepiannya. Perahu yang seharusnya hanya diisi dua belas orang itu penuh sesak oleh kami yang berjumlah empat belas, ditambah dengan satu pemandu dan satu nahkoda.

Ketika perahu yang kami tumpangi melaju lebih cepat, angin teluk berhembus, membuat rambut yang sudah kutata rapi sedari tadi berantakan. Sepuluh menit kemudian perahu tersebut berhenti di tepian Pulau Sempu yang didominasi vegetasi tropis dan karang. Kami saling membantu untuk turun dari perahu. Yang jadi pertanyaan adalah dimana laguna Segara Anakan berada, karena yang terlihat hanyalah hutan hujan tropis yang lebat dan sangat sepi. Yang lebih mengejutkan lagi, sang pemandu mengajak kami berdoa bersama sebelum memulai perjalanan ‘panjang‘ kami agar kami bisa sampai di Segara Anakan dengan selamat. Kemudian aku dan teman-teman perempuan terheran-heran, agak tak yakin dengan perjalanan ini.

“Amin,“ sang pemandu mengakhiri doa diikuti oleh kami.

“Lho, Pak, memang berapa lama perjalanannya?“ salah satu dari kami bertanya.

“Dua jam, Mbak.”

“Haaa?? Beneran, Pak? Jalan kaki??” katanya tak percaya.

“Iya. Makanya hati-hati, jangan sembarangan kalau di dalam hutan nanti.” Pemandu yang tidak aku ketahui namanya itu mewanti-wanti. Para perempuan yang ikut dalam perjalanan termasuk aku sempat mengeluh dan serentak teman-teman meledek dan mengatai kami manja. Aku pun terkejut mendengar kata ‘dua jam perjalanan‘, tapi aku meyakinkan diriku sendiri bahwa aku bisa, toh aku sudah terbiasa berjalan kaki.

Kaki kami sudah basah oleh lumpur ketika pertama menginjakkan kaki di hutan. Rupanya hujan semalam membuat tanah menjadi becek dan licin. Langkah-langkah berikutnya ternyata semakin sulit karena banyaknya karang dan akar pohon yang menjuntai. Selain itu, kontur tanah yang kami lalui curam, naik turun tak tentu. Karena jalan yang becek dan licin, kami terpaksa harus melepas sepatu dan sandal kami agar kami lebih mudah bergerak. Teman-teman begitu cepat bergerak, sementara aku semakin tertinggal dan tertinggal sampai berada di barisan paling belakang. Teman-teman yang berada di depan sudah tak kelihatan, namun mereka terus melakukan kontak dengan berteriak memanggil nama-nama kami. Fais, Cahya, dan Mahesa sengaja memperlambat jalannya, menunggu aku yang tak bisa berjalan cepat karena telapak kakiku begitu sensitif.

“Ayo, Tune. Semangat! Masa baru segini gak kuat?“ kata Fais.

Aku hanya mengangguk mengiyakan. Aku kuat, hanya saja kakiku ini terasa sakit ketika berpijak pada benda yang berkontur tidak rata. Tas yang kubawa juga kian terasa berat karena penuh dengan baju ganti, jaket, kamera, serta sebotol penuh air minum yang kubawa dari rumah. Dan aku juga teringat bahwa tamu bulananku sedang datang hari ini. Tamu yang merepotkan itu pasti akan membuat tubuhku semakin lemas dan mudah lelah. Sesekali Fais atau Mahesa berteriak pada teman-teman kami di depan, memastikan arah mana yang harus dilalui, serta memberitahu agar mereka sedikit melambat. Ketiga teman yang menemaniku di barisan belakang ini terlihat tidak sabar. Perasaan gemas terpancar di wajah mereka yang penuh keringat.

“Kurasa tasku yang berat memperlambat gerakku,“ kataku.

“Halaahh, emang seberapa berat tas kamu? Masa gitu aja gak kuat? Sini aku bawain.“ Kata Fais sambil menerima tasku dan kemudian ia terkejut, “Buseeett, berat ternyata. Bawa apa aja kamu??“

“Kamera, jaket, air minum, snack, baju ganti. . .”

“Sini biar aku saja. Aku akan berjaga di belakang.” Mahesa yang sangat suka berpetualang itu menawarkan diri. Jadilah dia pembawa barang paling banyak, yaitu tasnya, tasku, serta galon yang kami beli tadi. Gayanya sudah seperti artis lawas Bucek, dengan ikat kepala warna biru gelap, senada dengan kausnya yang tanpa lengan. Dia terlihat paling semangat di antara kami.

Berjalan di tengah hutan seperti ini ternyata sangat seru. Tak jarang kami menemukan lubang-lubang di tanah yang biasanya digunakan ular untuk bersarang. Banyak juga serangga-serangga kecil yang membuat kulit gatal. Bahkan Udin, teman kami yang berada di depan, tak sengaja menginjak kotoran binatang. Lantas kami tertawa terbahak-bahak melihatnya. Berikutnya, salah satu dari kami terlalu asyik melihat ke bawah ke arah tanah sehingga ia tak sadar ada batang pohon besar yang melintang di hadapannya. Alhasil kepalanya terbentur cukup keras. Lagi-lagi kami tak kuasa menahan tawa. Meskipun suasana begitu ceria, tapi rasa lelah datang juga. Akhirnya kami semua meminta Bapak Pemandu untuk istirahat. Namun Bapak Pemandu menyarankan agar kami menahan rasa lelah kami sejenak, karena tak lama lagi kami akan mencapai sebuah goa kecil, dan kami bisa beristirahat di sana.

Kira-kira sudah hampir satu jam kami berjalan dari tepian pulau tadi, dan goa yang diceritakan Bapak Pemandu sudah ada di depan mata. Goa tersebut sempit, dan sedikit terbuka. Kami semua lantas duduk di bebatuan goa, mengistirahatkan kaki-kaki kami, serta membasahi tenggorokan kami yang kering. Hanya nafas kami yang tersengal-sengal serta suara serangga hutan yang terdengar. Sementara matahari tepat berada di atas kami, membuat hawa semakin panas. Karena khawatir hari makin siang, akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.

Semangat menyelimuti hati kami ketika Bapak Pemandu bilang ini hanya tinggal setengah perjalanan lagi. Jalan yang kami lewati pun semakin curam. Kami harus menapaki karang yang tajam dan licin untuk turun, serta meraih ranting-ranting pohon untuk mendaki tanjakan curam. Jari kakiku sempat tersandung akar yang menyembul, membuat sedikit goresan di sana. Meskipun aku sudah ditempatkan di barisan terdepan, tapi pada akhirnya aku selalu tertinggal di belakang. Entah, rasanya kakiku seperti mau lepas dari sendinya. Kepalaku pun terasa berat.

Di depan, Bapak Pemandu bercerita sembari mewanti-wanti agar tidak ada satupun dari kami yang pingsan. Jika ada pengunjung yang pingsan di tengah hutan, akan ada regu penolong yang datang membawa tandu. Satu tandu seharga satu juta rupiah. Kami semua terperangah setelah mendengar nominal yang disebutkan Pemandu yang tak tampak lelah sedikitpun. Mungkin biaya operasionalnya mahal karena medan yang ditempuh sesulit ini. Bayangkan saja, membawa diri sendiri saja sudah begitu melelahkan, apalagi jika harus menggotong orang yang pingsan melewati hutan. Aku sendiri tidak pernah merasakan seperti apa yang namanya pingsan, tapi kali ini aku merasa aku akan mengalaminya. Aku berusaha keras menahan rasa lelah yang luar biasa dengan terus berusaha mengatur nafasku yang terdengar payah. Kurang sedikit lagi, batinku. Kemudian aku benar-benar bersyukur kami memutuskan untuk menyewa pemandu. Jika tidak, mungkin saja kami hilang tersesat di dalam sini, atau pingsan kelelahan karena tak tahu jarak terdekat yang bisa ditempuh.

Di jalan, kami sempat bertemu dengan beberapa pengunjung dari arah yang berlawanan. Mereka membawa tas yang jauh lebih besar dan tampak sangat berat. Rupanya mereka bermalam di Segara Anakan dan hendak pulang. Meskipun tidak saling mengenal, kami saling melemparkan senyum, seperti saling menyemangati satu sama lain. Melihat mereka, kami menjadi lebih semangat dan tidak sabar lagi untuk melihat rupa Segara Anakan. Kami juga sempat dikagetkan oleh keberadaan monyet-monyet berwarna abu-abu yang kata Bapak Pemandu berada di pohon sekitar kami. Mereka sepertinya ingin meminta makanan pada kami. Teman-teman perempuan sebagian menjerit ketakutan dan tidak berani melewati pohon tersebut. Namun dengan sigap Bapak Pemandu mengambil batu berukuran kecil yang kemudian dilemparkan ke arah pohon agar monyetmonyet itu pergi. Keberadaan hewan tersebut juga menandakan bahwa kami semakin dekat dengan laguna.

Suara ombak sayup-sayup terdengar, dan bau air tercium oleh kami. Ingin rasanya segera berlari dan bermain air di sana. Pada kenyataannya, semakin dekat jalanan semakin curam. Kami harus melewati tanjakan dan turunan yang sempit, sementara di sebelah kanan kami adalah tebing yang hanya dibatasi semak dan pepohonan kecil. Laguna Segara Anakan ternyata benar-benar indah, bahkan ketika dilihat hanya dari sela tumbuhan di atas sini. Teman-teman pun mempercepat langkahnya, sementara aku berusaha menyeimbangkan tubuhku agar tidak terpeleset dan jatuh ke tebing. Hanya tinggal beberapa langkah menurun kami sudah bisa menikmati keindahan laguna, tapi kepalaku benar-benar terasa berat dan aku tidak bisa menahannya. Aku membungkuk, menumpukan tanganku pada kedua lututku. Cahya menungguiku, menyuruhku untuk tidak terburu-buru menyusul teman-teman yang sudah berlarian di air sambil berteriak kegirangan. Aku berjongkok sambil memegangi kepalaku, kemudian memejamkan mata. Kurasa ini efek dari tamu bulananku, karena aku tak pernah seperti ini bahkan dalam kondisi yang paling melelahkan sekalipun. Beberapa menit kemudian kepalaku sudah kembali normal, dan aku beserta Cahya menuruni turunan terakhir, bergabung bersama anak-anak.

Segara Anakan benar-benar tenang, airnya yang hijau kebiruan berkilauan diterpa sinar matahari yang begitu terik siang itu. Saking teriknya, pasir-pasir di tepian laguna menjadi sangat panas sehingga sebagian dari kami yang tidak berenang harus berbagi tempat berteduh di bawah pepohonan yang rimbun. Aku ingin sekali berenang di air yang tenang itu, sambil memandangi karang-karang dan tumbuhan yang menakjubkan di sekelilingnya. Mau bagaimana lagi, aku tidak mau membuat warna laguna berubah menjadi merah. Rasanya begitu iri melihat mereka berenang, sementara aku dan teman yang tidak mempersiapkan baju ganti hanya bisa duduk menikmati pemandangan. Padahal aku sudah mempersiapkan baju ganti, tapi nyatanya aku tak mungkin berenang. Sesekali aku juga jadi juru foto mereka yang minta gambarnya diabadikan selagi bermain air. Sementara itu, Bapak Pemandu kami sudah berbaring di tanah, lelap tertidur di bawah pohon tak jauh dari kami. Mungkin inilah yang menjadi alasan kenapa tarif pemandu agak mahal, dimana tiap kali ada pengunjung mereka harus melakukan perjalanan sejauh ini dan harus menunggui pengunjung serta menunjukkan lagi arah jalan pulang.

Karena tidak berenang, aku dan salah satu teman memutuskan untuk berkeliling sambil mengambil foto. Di atas kami, terdapat bukit karang kecil yang indah. Dari sana kami bisa melihat air laut berwarna biru tua yang luas. Sepanjang mata memandang hanya ada air dan batu karang besar di tengah sana. Sayang keindahan tersebut dirusak oleh setumpuk sampah yang cukup banyak mengapung di dekatnya, yang entah darimana asalnya. Tak lama kemudian teman-teman yang lain menyusul kami, ingin ikut berfoto bersama kami.

Matahari semakin terik, dan kami kembali ke tepian laguna. Saat kami turun, banyak monyet yang sudah mendekat, mencari sisa-sisa makanan dari sampah yang berserakan di pasir. Tak seharusnya pengunjung membuang sampah sembarangan di tempat seindah ini. Memang tidak ada tempat sampah di sekitar laguna yang masih alami dan asri ini, tapi setidaknya kita bisa mengumpulkan sampah yang kita bawa dan menyatukannya dalam kantong plastik besar untuk nantinya dibuang. Sisa waktu kami gunakan untuk berfoto ria, mulai dari gaya melompat, duduk manis, hingga gaya aneh lainnya.
Tanpa terasa waktu menunjukkan pukul tiga. Kami harus segera bersiap untuk pulang. Kapal kami akan menjemput sebelum pukul lima sore, selagi hari masih tidak terlalu gelap. Jika kami belum sampai, maka kami akan dikenai biaya tambahan. Waktu begitu cepat berlalu, bahkan ketika aku belum sempat merasakan serunya berenang di laguna. Tapi rasa kecewaku sedikit terobati karena takjub melihat keindahan alamnya.

Kaki-kakiku terasa lebih berat daripada saat berangkat tadi. Rasanya begitu lelah, tapi kami harus mengejar waktu. Semula aku berpikir hanya aku yang mulai kepayahan. Ekspresi yang tergambar pada wajah masing-masing teman sudah menjadi jawaban. Mereka juga kelelahan. Tentu saja Bapak Pemandu tidak terlihat lelah. Fisiknya sudah terbiasa menjelajahi medan ini. Dalam perjalanan ini lebih banyak terjadi kecelakaan seperti terbentur pohon, baju tersangkut di ranting pohon, atau tak sengaja menginjak puntung rokok yang masih menyala. Saking lelahnya, bahkan beberapa dari kami tak sanggup melompati batang pohon besar yang menghalangi jalan.

Hari yang kian gelap membuat suasana hutan semakin sepi. Namun, ada saja cara teman-teman menghidupkan suasana. Salah seorang teman memutar sebuah lagu dangdut dari telepon pintarnya, diiringi protes serta gelak tawa teman-teman lainnya. Ia tidak peduli, malah berjalan sambil berjoget dengan gaya yang aneh. Hal tersebut setidaknya mampu menghadirkan semangat dalam diri kami masing-masing. Meskipun lebih sering beristirahat, perjalanan kali ini terasa lebih cepat karena Bapak Pemandu memilih jalan pintas lain yang lebih dekat.

Tiba-tiba teman yang berada di depan berteriak girang

“Kita sudah sampai. Kita sudah sampai!“

Aku bisa mendengar mereka menghembuskan nafas lega. Aku pun mempercepat langkahku, tak sabar ingin merebahkan tubuhku di tepian Pulau Sempu. Kulihat jam tanganku, pukul setengah lima. Rupanya kami tiba setengah jam lebih awal. Kini kami hanya perlu menunggu perahu yang tadi kami sewa datang untuk membawa kami kembali ke seberang. Kebanyakan dari kami ingin bermalam, membangun tenda dan menikmati malam di sana. Namun keterbatasan waktu yang disebabkan oleh kesibukan kami yang berbeda-beda membuat kami harus rela menikmati keindahan seperti surga yang terhilang itu kurang dari sehari. 

Ketika perahu kami datang, kami segera berdiri dan mengambil barang-barang kami yang tergeletak di tanah. Ingin rasanya segera membaringkan diri dan terlelap sampai esok. Sesampainya di seberang, kami segera membersihkan diri kami di kamar mandi umum bercat biru. Di depannya sudah tersedia penjual sabun, shampoo, serta detergen yang dijual secara ecer, jadi tak perlu kuatir apabila pengunjung lupa membawa salah satunya. Setelah setengah jam mengantri serta setengah jam menunggu teman-teman yang lain selesai membersihkan diri, kami bersiap-siap pulang.

Senja pun rupanya sudah datang, hendak membawa matahari pulang. Hanya gelap yang tertinggal pada rerimbunan vegetasi tropis di seberang. Maksud hati ingin bermalam, apa daya kami harus pulang. Seperti ada yang kurang. Entah kapan, tapi aku pasti kan kembali datang. Kuharap akan ada lebih banyak waktu untuk mengilhami keindahan Segara Anakan, surga kecil yang terhilang. 

***





You May Also Like

0 comments