Tidak Ingin Pulang
by
Fortunita
- November 17, 2022
Hujan belum berhenti sejak dua jam yang lalu. Bulirnya membentuk pola yang terus berubah di kaca. Aku mematikan AC di atas tempat dudukku karena tiba-tiba saja udara menjadi sangat dingin. Aku meringkuk di kursiku, memandang ke luar jendela dan mendapati mobil dan bangunan bergerak cepat dan kabur dari balik jendelaku. Pikiranku melayang entah kemana. Aku berharap andai saja bus ini terus bergerak tanpa henti, aku akan ikut kemanapun aku dibawa pergi. Aku ingin lari dari semua resah yang mengusik pikiranku beberapa waktu terakhir ini.
Kupasang earphone ku dan mulai memutar lagu. Lana Del Rey. Suara contralto-nya membiusku, dreamy musicnya seakan membawaku ke dimensi lain, menciptakan suasana delusional yang membuat candu. Mungkin aku seorang masokis. Bukannya mendengar lagu ceria, aku malah pasrah dibuai lirik sendu milik Lana.
Ada yang lebih buram dari kaca berembun yang masih diterpa hujan deras di sampingku: mataku. Tak terasa keduanya penuh oleh air mata. Lana, hujan, dan kesesakan hati adalah paduan yang sempurna. Penatku berpadu lebur bersama mereka.
Oh, Tuhan, aku tidak ingin pulang.
***
Suara sirine ambulans dan mobil polisi memekakkan telingaku dan mengusik tidurku. Aku terperanjat mendapati bus yang kutumpangi tak lagi melaju, berhenti dengan badan yang ringsek, kursi yang berhamburan, dan kaca yang sebagian besar pecah. Dengan ngeri kulihat sekeliling. Tubuh-tubuh manusia bergelimpangan di antara kursi dan pecahan kaca. Aku menoleh saat mendengar erangan kesakitan dari ibu paruh baya di kursi belakang yang dahinya terbentur kaca. Pergelangannya tampak patah. Sementara di sudut lain suasana sudah terlalu kacau untuk dapat kujabarkan dalam kata. Mereka yang selamat menangis lega sekaligus berduka melihat sanak saudaranya meregang nyawa.
Kudengar sayup percakapan antara polisi dan penumpang yang mengalami luka ringan, "...kejadiannya cepat sekali Pak! Bus oleng lalu melaju tidak terkendali sampai akhirnya menabrak." Aku meraba dahiku, tanganku, dan seluruh tubuhku untuk memastikan bahwa aku baik-baik saja. Aku tidak merasakan sakit apapun, dan kulihat tanganku bersih, tanpa darah maupun luka. Hanya sedikit lebih pucat dari biasanya.
Di depanku, sesosok perempuan terhimpit kursi yang tadi kududuki. Wajahnya yang berlumur darah terlihat tak asing. Bahkan pakaiannya terlihat mirip dengan pakaianku. Ketika aku mendekati sosok itu, aku terkejut mendapati wajahnya sangat mirip denganku. Sontak kututup mulutku dan memekik tak percaya. Butuh beberapa menit bagiku untuk mencerna bahwa sosok yang kulihat itu adalah ragaku sendiri. Tuhan benar mendengar doaku.
Aku tidak akan pernah pulang.