B E R U B A H
.
"Kau juga. Poni lemparmu khas sekali," balasku. Meski dalam hatiku aku merasa dia telah banyak berubah. Terlalu banyak hingga aku merasa tak mengenalnya.
.
Dia tertawa, "Ya. Tapi aku selalu menyisirnya ke belakang jika aku pergi ke kantor."
.
"Dan menyembunyikannya di balik pecimu?" tanyaku penasaran. Sejak setahun lalu, jika tak salah ingat, dia gemar memakai peci dan celana kain di atas mata kaki. 180 derajat berbeda dari Awan yang kukenal 8 tahun lalu.
.
Dengan kaus gelap dan celana jeans ketat serta rambutnya yang berponi lempar Awan selalu menjadi emo boy favoritku kala itu. Namun waktu berlalu dan manusia pasti berubah. Awan meninggalkan segala hal duniawi dan berfokus untuk menjadi pribadi yang lebih baik, seperti sekarang.
.
Kudengar ia tertawa lagi, "Haha, iya, Ra. Aku lebih suka pakai peci sekarang. Kalau kamu sendiri, Paskah tahun ini akan puasa pantang apa? Kopi, seperti waktu itu?"
.
Deg. Ternyata dia masih ingat juga.
.
"Enggak, Wan. Hehe. Gak kuat godaan," jawabku malu. "Btw, tumben banget kamu pulang kampung pakai ngajak bertemu? Biasanya gak pernah kasih kabar," gerutuku.
.
"Ah, iya. Anu, Ra. Sebenernya aku mau ngasih ini," katanya sambil menyerahkan selembar undangan pernikahan berinisialkan NA. Nisa & Awan.
.
Di tengah keramaian aku bisa mendengar jelas hatiku retak perlahan. Tapi aku harus terlihat bahagia untuknya.
.
"Wah, Awan. Selamat yaa! Kok gak bilang-bilang sih, tahu-tahu udah mau nikah aja," ujarku sambil membuka undangan berwarna hijau bertuliskan 'Untuk: Dara', berpura-pura antusias.
.
"Iya, Ra. Prosesnya singkat. Aku baru mengenalnya beberapa bulan yang lalu. Dia baik, rajin, taat agama. Jadi, aku mengajaknya menikah. Dan dia setuju. Kamu harus datang, ya?" tanyanya.
.
Kudengar hatiku bergemuruh. Lebur. "Pasti. Aku akan datang bersama pacarku," kataku sambil menahan air di sudut mataku.
.
Sekilas kulihat raut wajahnya berubah, "Lho, kok nangis, Ra?"
.
Aku memaksakan tawaku, "Terharu lah, Wan. Akhirnya sobatku nikah!" jawabku. Bohong.
0 comments