E P H E M E R A L

by - January 06, 2020


Setelah Elisa merengek kepadaku untuk ditemani menghadap dosen pembimbingnya, akhirnya aku luluh juga. Sebenarnya aku enggan pergi dengannya. Bukan karena malas bepergian di tengah liburan semesterku. Hanya saja, Elisa menempuh pendidikan di kampus yang sama dengan Yovie. Bahkan di fakultas yang sama, meski mereka tidak pernah saling mengenal. Bagaimana kalau aku bertemu dengannya? Apa yang harus kulakukan?
.
Namun ketakutanku tertepis mengingat bahwa Elisa juga tengah berada dalam libur semester. Dan Yovie bukanlah seseorang yang akan sering berada di kampus, meski hanya sekedar bertemu teman-teman, menurutku.
.
Singkat cerita, siang itu aku benar-benar pergi bersama Elisa. Seringkali mataku mengitari lorong-lorong kampus yang sepi. Tiap kali ada derap langkah, dengan cepat aku bereaksi. Takut bertemu Yovie.
.
Kulihat Elisa muncul dari balik pintu ruang dosen di depanku. Aku bernafas lega. Setengah jam yang lalu merupakan setengah jam yang panjang bagiku. Aku ingin segera pulang.
.
Saat akan kembali menuju lift, aku melihat seorang mahasiswa duduk di salah satu dari berderet-deret kursi panjang yang ada di depanku, memunggungi arah kami berdiri. Kemejanya hitam berlengan panjang dan di kepalanya terdapat topi beanie oranye yang menyala. Tak terlihat seperti Yovie. Lagipula mana mungkin itu Yovie.
.
Kami harus menyeberangi deret-deret kursi itu untuk menuju lift yang akan membawa kami turun. Namun semakin kami melangkah mendadak aku merasa grogi setengah mati. Bodoh. Padahal ada ribuan mahasiswa di kampus ini dan bagaimana mungkin aku menduga sosok di kursi itu adalah Yovie?
.
Aku berjalan lurus menatap ke depan dan makin mempercepat langkah saat melewati sesosok berkemeja hitam tadi. Sesaat sebelum kujejakkan kakiku ke dalam lift, aku memandang ke arahnya.
.
Deg.
.
Itu benar Yovie. Sedang duduk terdiam.
.
Pintu lift tertutup. Hatiku semakin kencang berdegup. Aku menarik ponselku dari kantong dan mulai mengetik pesan. Awalnya ragu, namun akhirnya aku mengirimkannya karena rasa penasaranku mengalahkan segalanya.
.
"Lagi di kampus, Yov?" tulisku pada pesan singkat yang kukirimkan pada nomor Yovie yang lama tak pernah muncul di layar ponselku.
.
"Iya, Nis. Kok tau?"
.
"Kemeja hitam, beanie oranye?"
.
"Iya, itu aku. Kamu dimana? Kamu lagi di kampusku?"
.
Bodoh. Aku berharap tidak akan bertemu Yovie saat ini. Tapi melihat wajahnya setelah sekian lama tak bertemu, meskipun sekilas, cukup membuatku senang. Kini aku berada di antara rasa ingin bertemu dan ingin ditelan bumi. Yovie tak bisa melihatku dalam kondisi seperti ini. Aku nampak kacau.
.
"Iya, ada urusan. Tapi aku sudah dalam perjalanan pulang," jawabku bohong.
.
"Yah. Kukira kita bisa bertemu, Nis," balasnya. Elisa masih sibuk mencari motornya di tengah lautan motor lainnya. Aku makin gelisah. Samar-samar dari ujung mataku kulihat Yovie menuju area parkir yang sama.
.
Dengan refleks aku meringkuk, menyembunyikan wajahku. Elisa menepuk pundakku, mengingatkanku untuk segera menaiki motornya. Dia membaca gelagatku yang aneh, "Ngapain, sih, Nis?".
.
"Ada Yovie! Buruan pergi. Yuk," aku tak sabar.
.
"Dimana? Lha, bukannya harusnya kamu seneng bisa ketemu dia? Aku panggil ya?"
.
Aku hampir melonjak dari tempat dudukku, "Jangaaan, El. Tidak hari ini. Aku sedang kacau! Cepet pulang. Please!"
.
Elisa menurutinya, namun sebelum kami benar-benar keluar dari area parkir, dengan usil ia berteriak keras, "Yovieee!".
.
Dan Yovie menoleh ke arah kami dengan tatapan bingung. Aku menutup mukaku malu dan berharap Yovie tak mengenaliku. Aku mencubit gemas Elisa sementara dia tertawa geli melihat tingkahku.
.
Aku telah melewatkan kesempatan untuk bertemu Yovie hanya karena aku tak cukup percaya diri dengan penampilanku saat itu. Sepele, namun membuatku kehilangan. Setelahnya, kudapati kesempatan itu tak pernah datang untuk kedua kalinya. Aku benar-benar tak pernah bertemu Yovie lagi.
.
.
.
Kisah tentang Yovie masih jelas terkenang meski keindahannya hanya efemeral.

You May Also Like

0 comments